OASE ISTIMEWA DARI “NEGERI 5 MENARA” YANG BISA BUAT KAMU JADI PECINTA BUKU

Sebagai seorang pemuda Indonesia yang bersuku jawa dan dibesarkan
di tanah batak, dikelilingi oleh kehidupan yang heterogen, ternyata tidak
serta-merta membuat saya memahami arti perbedaan itu. Benar saja, kadang tidak
bisa menepiskan rasa dalam diri untuk tidak membandingkan diri dengan
teman-teman yang lain dalam keanggunanan rupanya, tutur katanya, kemampuan
berbudayanya.
Ini adalah sebuah perjalanan memaknai perbedaan itu, ketakutan
untuk membuka diri di lingkungan yang baru kadang sering menghantui, bagaimana
kebudayaan di daerah tersebut bisa selaras dengan kita menjadi penguat besar
rasa menutup diri itu. Aku sering membaca buku tentang kebhinekaan, tentang
bagaimana keindahan berbaur dengan kebudayaan baru, dan melihat langsung warna Indonesia
itu, tapi merasakan kebhinekaan itu secara lebih dekat akan memberikan makna yang berbeda.
Hingga pada bulan April 2021 lalu, aku memberanikan diri untuk
mengikuti ajang pemilihan Duta Bahasa Sumatera Utara Tahun 2021. Memiliki kemampuan
3 bahasa (bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing) menjadi tantangan
tersendiri pada awal pendaftaran. Agaknya diri ini tidak terlalu mahir dalam
berbahasa daerah. Tenang saja, kali ini aku tidak akan bercerita bagaimana
proses pemilihan itu tapi aku ingin berbagi makna dari perjalanan panjang
menggenggam makna kebersamaan itu.
Memaknai Kemerdekaan Di Panggung Semifinal Duta Bahasa Provinsi
Sumatera Utara
Sesi menampilkan
bakat adalah rangkaian seleksi tersebut, dengan kemampuan yang cukup standart
sangat sulit untuk menampilkan bakat yang khas dan unik. Tidak memiliki suara
yang bagus, pengetahuan yang buruk dalam memainkan alat musik menjadikan ‘monolog’
adalah pilihan terakhir untuk menampilakn bakat tersebut. Satu hari menjelang
penampilan diriku bahkan masih sempat mengganti konsep monolog, dan waktu
berlatih hanya sempat dilakukan saat jam 2 Pagi sebelum keberangkatan menuju
Balai Bahasa. Satu value yang saat itu menguatkanku adalah lebih baik
mempersembahkan sebuah penampilan yang membuat dewan juri terkenang akan makna
kemerdekaan, maka jikapun aku gagal tidak akan ada penyesalan karena tujuan
dari semua ini adalah penyampaian makna.
Membawakan drama monolog “Apakah Kita Sudah Merdeka? Karya Putu
Wijaya” memebrikan energy yang luar biasa, bahkan masih sangat tergambar di
dalam benakku saat berdiri di atas panggung dan memainkan peran layaknya
seorang veteran yang merasa bangga bahwa ia pernah berdiri di barisan paling
depan untuk sebuah usaha mewujudkan Indonesia merdeka.
Merdeka bukan muluk-muluk soal
perayaan hari besar Indonesia, merdeka bukan sebuah pemandangan
kebahagiaan wajah Indonesia yang tersenyum. Makna merdeka lebih dalam sekaligus
lebih ringan dari pada itu.
Merdeka juga bukan memperkaya diri setelah bangkit dari kemiskinan,
merdeka bukan berarti Indonesia tak layak diperjuangkan lagi. Makna merdeka
lebih dalam sekaligus lebih kecil dari pada itu.
“Apakah kamu
paham, le? (bentak kakek veteran itu)
“Tidak, kek.” (jawab
cucu laki-lakinya).
Itulah makna merdeka, saat kamu berani mengatakan “Tidak” meski
ditengah tekanan situasi. Kamu tetap berdiri di atas keyakinanmu, jujur
terhadap dirimu, dan membuka kesempatan pengetahuan menghampirimu. Inilah makna
merdeka yang tak pernah kudapati sebelumnya di bangku sekolah, di pelataran
rumah-rumah, di antara nasehat ibu dan bapak. Tak kudapati makna merdeka
sedemikian itu. Pada panggung semifinal duta bahasa, aku mendapat satu khazanah
baru tentang merajut Indonesia dengan makna merdeka yang baru dan tulus dari
sebuah drama yang diperankan.
Penampilan Bakat Drama Monolog |
Tabularasa, Bahasa, Dan Persatuan Indonesia
Menjadi seorang negarawan yang baik adalah mereka yang mencintai Indonesia
layaknya mencintai diri mereka sendiri. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik
ternyata juga termasuk salah satu cara untuk meninggikan Indonesia.akan terasa
maknanya jika kita menasehati orang lain dengan bahasayang buruk atau dengan
dengan bahasa Indonesia yang baik. Wajah Indonesia melalui bahasanya adalah
wajah yang sangat rupawan. Melestarikan bahasa Indonesia yang baik dan benar
saat ini menjadi tanggungjawab kita. Jika kita mengenang para pendiri bangsa
ini mereka memiliki kemampuan bahasa yang baik dan santun meski dalam situasi
yang diplomatis.
Penyampaian orasi satu menit tentang Memartabatkan Bangsa Memuliakan Bahasa |
Merajut Rasa Kebhinekaan Di Panggung Final Duta Bahasa
Pada proses pemilihan panjang tersebut sampailah diri ini pada
tahap final dan malam puncak, tak pernah terpikirkan sebelumnya bisa bertahan
pada tahap tersebut. Mengenal teman-teman yag berasal dari latarbelakang budaya
yang berbeda membuat rajutan kebhinekaan menjadi semakin terasa. Mulai dari
suku banjar, suku minang, suku melayu, suku batak, suku karo, suku jawa, hingga
latar belakang keluarga aceh namun besar di tanah batak juga. Perjalanan yang
paling seru adalah saat memberikan penjelasan dalam bahasa daerah
masing-masing. Seakan-akan kita bisa melihat wajah Indonesia yang beragam di
tanah batak ini.
Penampilan bakat dengan mengusung tema kearifan budaya indonesia |
Saat malam puncak final duta bahasa, setiap finalis diminta untuk
menunjukkan bakatnya dalam bentuk yang sedemikian rupa. Kami menampilkan bakat
dengan mengusung nilai kebudayaan dan keragaman Indonesia. Panggung yang
cahayanya saja sudah membuat kita terpana ditambah dengan penampilan bakat yang
memesona ini menciptakan ragam warna budaya yang sama sekali tak bisa
dibandingkan keindahannya, setiap budaya yang diangkat memiliki ciri khas
tersendiri. Ada yang membawakan tarian aceh, tarian minang, ada yang
menampilkan tarian sigale-gale dari Tapanuli Utara yang menyihir penonton
dengan kekentalan budayanya, ada yang membawakan syair melayu dengan keindahan
suaranya, benar-benar membuat terpanan siapapun yang menyaksikan dan
mendengarkannya.
Ada juga penampilan yang dikonsep dengan sangat sederhana namun
makna yang disampaikan sangat dalam, yaitu tarian para nelayan yang menggunakan
bubuh penangkap ikan dari daerah pesisir Serdang Bedagai.
Saat menyadari bahwa aku berada di tengah-tengah rajutan
kebhinekaan itu perlahan berdesir dalam hati dan jiwa betapa bangganya terlahir
di tanah surga ini, betapa beruntungnya bisa menjalin langsung makna keragaman Indonesia.
Ah iya, saat di panggung final diriku menampilkan bakat drama monolog tentang
pembebasan palestina, aku mengangkat tentang nilai kemanusian dan nilai
persaudaraan bukan nilai SARA yang sering digaungkan. Dalam drama monolog
tersebut diriku ingin menyampaikan pesan bahwa di tengah hiruk pikuk kesibukan
yang kita jalani, di tengah kebahagian yang tengah melanda hati ternyata kita
perlu menyisihkan sedikit rasa kemanusian kita melihat peristiwa-peristiwa yang
ada, tidak menutup mata atau bahkan menutup telinga.
Pada setiap perbedaan warna yang terlukis pada kita, ternyata di
sana terdapat ribuan makna yang bisa menyatukan kita menjadi kebersamaan yang
saling menguatkan dan membentuk sebuah warna yang sangat kuat dan kontras yaitu
makna persatuan.
Persembahan tarian pembuka acara dari seluruh finalis |
Dari
Anak Muda Untuk Indonesia
Siapakah sebenarnya Indonesia itu? Seakan dijadikan sebagai subjek
sekaligus objek. Indonesia adalah sebuah makna persatuan, Indonesia adalah sebuah
makna yang menyatukan perbedaan, Indonesia adalah sebuah rasa memiliki untuk
melindungi satu sama lain karena kita berasal dari sejarah bangsa yang sama. Begitulah,
kita menyebutnya Indonesia. Bukan hanya sekadar sebuah Negara yang kita jadikan
rumah, tapi sebuah Negara yang di dalamnya kita sedang membangun peradaban
untuk tetap bersatu.
Tak afdal rasanya memang saat kita ingin menelaah sebuah makna
tanpa pernah merasakan sendiri bagaimana penemuan makna tersebut merekonstruksi
diri kita melebus ke dalamnya. Pemaknaan merdeka setiap orang tentu akan
berbeda berdasarkan pengalamannya, begitupun mengenai rasa kebhinekaan di Indonesia,
namun bukan berarti kita menutup diri untuk banyak belajar hal baru tentang hal
yang ingin kita pelajari.
Indonesia adalah rumah kita, rumah yang gemah ripah loh jinawi,
pada kandungnya saripati kita dibesarkan. Pada permukaannya Tuhan gambarkan
bagaimana surga itu. Jika kita menganggap Jakarta itu sesak mungkin kita perlu
sesekali melihat pedesaannya, pegunungannya, pantainya adalah surga tersembunyi
yang disiapkan untuk mereka yang lelah.
Mari kita memandang Indonesia dengan keindahannya, keragamannya
yang menyatukan, kebersamaannya yang menguatkan, dengan nilai gotong royong
yang menjadi dasarnya. Jika kita mengingat kembali nilai-nilai ini, maka
perjalanan menuju Indonesia baik, Indonesia emas bukan angan-angan semata. Wajah
Indonesia ada di wajah masyarakatnya. Selamat menjalin Indonesia di manapun
kamu berada.
Komentar
Posting Komentar