 |
Dokumentasi Pribadi |
Hingga lantunan merdu dari masjid berkumandang, aku masih terjaga dari raga yang belum terlelap. Aku masih berkutat dengan ribuan foto yang tersimpan di galeri cadangan. Ada begitu banyak gambar, dengan berbagai ragam jepretan, rasa yang terkandung dalam foto juga sangat banyak.
Melihat satu potongan gambar seperti sedang menonton tayangan kisah berkepanjangan. Kemudian jari-jemari tak hentinya menari menyusuri lemari nostalgia yang selalu dikunjungi saat sedang patah hati atau merindukan perasaan tertentu pada masa dituju.
Setelah menyudahi silaturahmi pada bilik-bilik galeri, aku mulai memilah mana gambar yang mampu kuceritakan tentang perasaan yang ada di dalamnya. Sangat banyak. Butuh waktu tiga kali untuk mondar-mandir memutuskan mozaik mana yang hendak dideskripsikan.
Ada dari kotak penyimpanan Camera, Bluetooth, Browser, dan cukup banyak dari Download setelah sebelumnya aku juga menyusuri beberapa momen yang disimpan dalam tautan google drive. Sungguh sangat mengharu biru menjelang waktu subuh.
Selain memilih gambar berdasarkan momen dan rasa yang terkenang, aku juga memilah foto berdasarkan resolusinya. Hahahaha, jujur saja, kualitas gambar ternyata memberi warna tambahan pada rasa dan asa yang tersemat di sana. Meskipun tidak bisa dielakkan bahwa perasaan yang sangat berkesan tidak akan mengurangi nilai rasanya meskipun hanya ter-capture pada permukaan gambar abstrak yang tak dimengerti.
Terlebih, Wanika yang sebelum hari ini adalah pecinta jepretan abstrak. Sungguh sangat abstrak sampai ada seorang sahabat yang kaget dengan isi galeri ponsel wanika yang isinya seperti sampah yang harus dibersihkan terlebih saat penyimpanan ponsel sedang penuh. Tapi Si Asa ini tetap mempertahankan untuk tidak menghapus foto-foto abstrak itu. Nanti akan kuceritakan salah-satu keabstrakannya.
Menetapkan satu rasa pada gambar, kemudian menceritakannya dengan perasaan lapang seperti menghidupkan semangat yang padam, membebaskan beban yang selama ini tak pernah lepas, dan mengekspresikan diri dari kehidupan yang kaku, kehidupan yang kadang memaksa kita harus bisa ini itu.
Menerima diri untuk tidak baik-baik saja juga hal baik untuk tetap memberi ruang bagi diri kita menyembuhkan diri.
Ceritakan, meski hanya kamu pendengarnya. Ceritakan, kepada Allah pemilik segala hal.
Inilah pengantar sebelum kota menyusuri setiap babaknya.
Komentar
Posting Komentar