Bukankah hari ini sama dengan hari sebelumnya? Aku selalu membatin dalam diri. Tidak, hari ini akan berbeda.
Aku melangkahkan kaki melewati gerbang sekolah. Berjalan melalui koridor dan berhenti di depan sebuah ruangan yang bertuliskan "Headmaster's Room".
Dari depan pintu ini Aku langsung bisa menyaksikan seorang lelaki paruh baya dengan tubuh yang sedikit gempal, ia mengenakan seragam batik tumbuhan warna biru dengan warna dasar putih. Wajahnya terlihat begitu menakutkan ditambah kacamata petak yang menghiasi matanya, semakin menguatkan aura kharismatik dalam dirinya.
" Tok.. Tok.. Tok" Suara pintu yang kuketuk membuat laki-laki itu menoleh ke arah pintu.
"Silahkan masuk" Jawabnya dengan dingin.
Tanpa ragu Aku mengikuti perintahnya untuk masuk dan duduk dikursi yang berada dihadapannya setelah laki-laki itu mempersilahkan.
"Jadi nama kamu adalah Sura Widianto. Baiklah hari ini kamu akan masuk di kelas VII B. Oh iya sebelumnya, kalau kamu ingin tetap lanjut disekolah ini poni rambut yang menutupi matamu itu harus dipotong"
"Saya kira, kakek saya sudah memberitahukan bapak mengenai ini", Aku menyibakkan sebagain poni yang menutupi mataku.
Wajah bapak kepala sekolah terperangah melihat apa yang kutunjukkan padanya.
*
7 Juni 2012
Aku mulai bersekolah di salah satu SMP swasta yang katanya terbaik di kota Medan. Sebenarnya Aku sudah meminta kepada kakek untuk mendaftarkanku di sekolah pedesaan saja. Aku lelah harus selalu pindah sekolah. Bukan karna Aku bodoh, bukan karna Aku nakal, tapi karna kakek tidak tega melihat Aku selalu di dibuli, dijauhi teman-teman dan selalu dapat masalah.
" Kamu tenang saja Sura, sekolah kali ini adalah sekolah yang tepat untukmu. Walaupun sekolah elit tapi kakek mendengar siswanya terkenal baik-baik, dan kepala sekolahnya adalah murid kakek dulu. Kakek yakin kamu pasti akan mendapatkan teman disini." Aku teringat bujukan kakek sewaktu aku menolak masuk ke sekolah itu.
Sambil menuju kelas yang dimaksud pak sekolah aku membatin dalam hati semoga saja apa yang kakek katakan itu benar. Bagaimanapun, kakek selalu mengatakan hal itu setiap kali aku akan masuk ke sekolah yang baru.
Setelah guru wali kelas mempersilahkanku duduk dikursi sudut dekat jendela, saat itu juga aku merasa kehidupan yang menegangkan pun dimulai kembali.
"Lihat dia aneh sekali, wajahnya tidak kelihatan. "
"Kenapa kepala sekolah mengizinkan anak seperti ini sekolah di tempat kita ya."
"Dia baru pindah waktu semester dua, apa dia dipecat dari sekolah sebelumnya ya?" Bisik-bisik mereka sudah bukan hal yang baru bagiku.
Aku sudah biasa mendengar teman-teman baruku selalu berkata seperti itu. Kali ini aku tidak berharap terlalu banyak, hanya sekedar tidak ada yang menggangguku itu sudah lebih dari cukup.
"Teeeeeedeeeet teedeet tedeet teeeet" Ya, akhirnya suara yang kutunggu-tunggu berbunyi juga. Bel pulang sekolah dengan irama lagu Are you sleeping ini ternyata cukup untuk membangunkan beberapa murid lain yang tengah setengah bermimpi makan ayam goreng ditemani jus jeruk yang segar.
"Hahahahha" Tawaku dengan lirih.
Hari ini aku bersyukur karna tidak mendapatkan masalah dihari pertama sekolah. Hanya saja tubuhku terasa kaku sekali karna dari awal jam pelajaran hingga saat ini aku tak ada beranjak dari kursiku. Dari ruangan paling sudut ini Aku hanya bisa mengintai sekeliling dengan pandangan samar dari balik poniku.
"Suraaaaa.." Suara teriakan yang keras dari sebelah kiri mejaku.
"Hey Sura.. Kamu denger enggak sih? Yuk pulang bareng sama kita."
Aku memalingkan wajah dan mendapati dua orang anak laki-laki yang tengah menawarkan diri mereka untuk pulang bersama. Yang satu tinggi semampai dan satunya lagi lebih pendek dari temannya namun terlihat lebih gemuk.
"Kaa.. Kalian mau pulang sama Aku?" Tanyaku dengan sedikit perasaan ragu.
"Iyaa.. Bener. Kita kan teman. Ya kan coy. " Kata anak yang bertubuh tinggi sambil mengangkat alisnya, seperti mengisyaratkan kepada temannya untuk menyetujui perkataannya barusan.
"Iyaa... Kami kan temen kamu Sur. Lagian kamu dari tadi gak ada nyapa kita sih." Balas anak yang bertubuh lebih pendek. Ia berkata seperti itu sambil menepuk pundakku.
"Baiklah. Te.. Terima.. Kasih"
"Jangan sungkanlah."
Kami bertiga berjalan dengan berdampingan. Mereka berdua asik berceloteh ria, dan mengabaikan keberadaanku. Bagaimanapun juga aku sangat senang. Ternyata benar apa yang dikatakan kakek, disekolah ini pasti aku akan dapat teman. Terimakasih kakek.
Ternyata jalan pulang kerumah kami juga searah. Aku merasa mereka benar-benar baik.
"Eh, anak cupu.. Siniiin tas lo." Aku terkejut mendengar penuturan ini dari anak yang bertubuh tinggi. Setelah kuketahui namanya adalah Rey.
"Siniiiii.. Lama banget sih lo.. Kuping lo gak berfungsi yaa.." Timpal Jono, anak yang bertubuh lebih pendek.
Mereka menarik paksa tasku. Tubuhku terhempas ketanah setelah salah satu dari mereka mendorongku dengan sekuat tenaga.
"Bruuuk.. bruuuk.. bruuk". Seluruh isi yang ada didalam tasku tercecer ditanah.
Rey bahkan membuka paksa resleting tas. Mengangkat ke udara dengan terbalik sehingga seluruh isinya berjatuhan.
Apa ini? Aku tidak bisa berbuat apa-apa.
" Ah, gak seru. Gak ada apa-apa. Anak orang miskin ternyata lu. Pasti orang tua lu gak mau ngakui punya anak kayak lu kan. Anak gak terurus." Cerca Rey dengan gaya bicaranya yang sombong.
Aku tak bisa menahan lagi. Tanpa diperintah tangan kananku yang sudah kaku seperti besi melayang dan mendarat diwajah Rey.
"Buuuuuk".
*
Setelah kejadian itu orang tua Rey mengamuk dan menuntut kakek. Aku tak kuasa menahan air mata saat kakek harus bersujud meminta maaf pada Ibu Rey.
" Kakek tahu kamu tidak salah Sur. Tapi kita harus sadar. Walaupun kita yang ditindas tetap saja pembelaan diri bukan untuk orang-orang miskin. Kita hanya bisa bertahan dengan mengalah dan sabar."
"Biarkan aku membantu kakek dirumah. Monster seperti ku, dengan alis dibawah mata dan mata terluka tidak akan bisa mendapatkan teman." Kupeluk Kakek dengan erat.
Komentar
Posting Komentar