UKIRAN
JENDELA
Berjalan ku susuri jalanan setapak yang sudah lama tidak ku
tapaki, aku berharap masih sama seperti
5 tahun yang lalu. Ku tolehkan kepala ke kanan dan kiri melihat
sekeliling Ah ternyata masih tak jauh berbeda dengan yang dulu, hanya saja
suasananya sudah berbeda tidak kulihat lagi banyak anak-anak bermain
disekitaran jalan setapak ini padahal dulu selalu jadi tempat paling asyik
untuk bermain.
Sampailah aku ke tempat tujuanku, didepanku kini berdiri
sebuah rumah tua nan kusam yang sudah ditinggal
lama oleh pemiliknya. Aku coba masuk kedalam rumah itu, tap.. tap.. tap..
kudengar derap langkahku sendiri. Isi rumahnya seperti barang-barang lama, debu
bertebaran kemana-mana, ku coba memasuki ruangan yang tidak asing lagi bagiku,
ya ruangan itu adalah kamarku. Aroma khas kamarku rasanya masih sama seperti
saat kuhuni dahulu, bunga-bunga kecil
yang menempel didinding masih lengkap formasinya, ah sepertinya amak yang
merawat semua ini.
Aku mencoba merebahkan tubuhku ke kasur yang sudah tidak terasa
lagi ada isi kapas nya, ditimpah badan selama berpuluh tahun ternyata berhasil
membuat kasur ini seperti keripik saja.
Tapi tidak bisa ku pungkiri ada
kenikmatan sendiri saat berebah disini serasa memori kanak-kanakku hingga
remaja berputar didepanku.
Beranjak dari kasur ini ku coba menyingkapkan tirai jendela
kamar, ku buka jendela dan terdengar suara decitan engsel nya yang sudah
berkarat, udara yang masuk menerbangkan debu-debu yang berada di dalam lalu
terbang menyapa hidungku.. haciiiim haciiimm… ah debu selalu saja mengusik. Ku
kibas kibaskan kain ke kosen-kosen jendela untuk mengusir debu yang masih
hinggap di jendela.
Kuhadapkan wajah keluar jendela menikmati terpaan angin sore
desa ini, aroma rumput dan aroma kotoran sapi khas sekali didesa ini.
“haaa terimakasih
waktu telah mengantarkan aku kembali kerumah ini.’’
Ku elus kosen jendela yang masih terselimuti debu, ada bagian
kosen yang sudah bolong-bolong keropos dimakan rayap kayu dan rayap waktu. Saat
lapisan debu sudah sampai dasarnya, ku perhatikan lamat-lamat permukaan nya
seperti ada pemandangan yang tidak asing.
‘’amak tidak setuju wa’ang menjadi penceramah seperti itu,
tidak ada duitnya.’’
‘’ mak tapi ini lebih berkah, pekerjaan yang mulia. Kenapa
amak selalu memaksa ambo menjadi polisi, ambo tidak suka pekerjaan itu mak.
Bahkan amak dan bapak rela menjual sawah peninggalan kakek untuk memperjuangkan
ambo jika ambo mau menjadi polisi, tapi ini bahkan untuk memberikan ridho saja
pada apa yang ambo lakukan amak dan bapak tidak sudi, padahal pekerjaan ini
jauh lebih mulia.’’
‘’tapi ini untuk kebaikan wa’ang nak, agar wa’ang mapan,
supaya amak dan bapak bisa tenang tidak
khawatir memikirkan wa’ang.’’
‘’jadi amak dan bapak tidak tenang jika ambo berdakwah
dijalan Allah?, baik pak mak ambo akan coba turuti apa yang bapak dan amak
inginkan, semoga Allah menunjukkan kepada kita jalan yang seharusnya kita
tempuh, biarkan ambo mencobanya dengan jalan yang benar mak, sawah peninggalan
kakek tidak perlu dijual. ambo akan berjuang semapunya, dan jika nanti ambo
tidak lulus amak dan bapak harus merestui saya merantau jauh merasakan pahitnya
hidup. Ridhoi ambo atas jalan yang ambo pilih ini mak pak’’
Amak hanya mengangguk dengan menahan air mata yang hendak
jatuh. Sedangkan bapak yang memang pendiam hanya duduk disudut gelap ruangan masih
bertafakur dengan segelas kopinya.
‘’ambo masuk kamar dulu’’.
Hari hari selanjutnya ku lewati dengan latihan-latihan dan
latihan. Pagi selesai subuh menjadi hal rutin lari pagi siang hari belajar sore
hari renang dan malam hari belajar
kembali, begitulah rutinitas ku selama beberapa bulan.
Tiba waktu pertempuranku dimulai, tes demi tes telah berhasil
aku ikuti setiap hasil kelulusan amak dan bapak yang selalu melihatnya
sedangkan aku sudah pasrah sepenuhnya, dan di tes pantohir yang terakhir
Alhamdulillah saya belum lolos artinya pintu untuk menjadi polisi telah
tertutup.
Amak mengabarkan berita itu dengan wajah yang sedih dan
berterimaksih pada ku karna telah mau mengikuti kemauan mereka.
‘’amak seharusnya ambo yang harus banyak berterimakasih
kepada amak dan bapak karna sudah merawat dan membesarkan ambo hingga sekarang
dengan penuh kasih sayang, dahulu permintaan ambo banyak sekali kepada kalian
dan selalu dituruti, sekarang hanya satu permintaan amak dan bapak tapi belum bisa
ambo berikan. Ambo minta maaf ya amak.’’
‘’tidak nak wa’ang sudah berusaha keras amak tau itu, amak
bangga padamu begitu juga bapakmu. Benar Allah yang menyiapkan jalan tinggal
dari mana kita menempuhnya, sekarang amak dan bapak percaya pada mu nak untuk
masa depanmu, amak dan bapak hanya bisa membimbing dan mengarahkanmu bukan
memaksamu. Mak dan bapak sekarang rela jika kau ingin merantau nak, ridho kami
ada bersama mu nak, kami yakin kau sudah dewasa dan berada di jalan yang benar,
engkau punya cita-cita yang mulia menjadi seorang Jamilul Quran, maafkan kami
nak selama ini mata kami buta akan kenikmatan dunia untuk menjadikanmu
seseorang yang dipandang baik oleh orang-orang kampong ini. Padahal selama ini
cita-cita mu yang lebih baik dan bisa mengangkat derajat kita kelak di Akhirat
nak. Maafkan kami nak.’’
‘’terimaksih amak dan bapak sudah mengerti dan meridhoi ambo.
Ambo minta maaf atas kesalahan ambo
selama ini, ambo sudah putuskan untuk merantau ke jawa ada kenalan ambo seorang
ustadz yang punya pesantren disana, insya Allah ambo ingin mondok disana mak,
pak.’’
Haaaa tidak terasa pipi ku sudah basah oleh air mata saat
mengingat kejadian dulu. Mak pak semoga kalian bahagia sekarang disana. Setelah setahun saya merantau amak dan bapak
dikabarkan meninggal karna kecelakaan.
Ukiran jendela ini mengingkatkan semuanya, gambaran orang
yang sedang memakai topi polisi dan yang disebelahnya ada gambar buku lalu
disampulnya tertulis samar bacaan Al-quran dalam bahasa arab. Mak pak sekarang
anakmu sudah menjadi jamilul Quran. Ambo harap amak dan bapak bahagia duduk
dikursi kebesaran dan kelak akan dipakaikan jubah kebesaran itu.
15
okt 2018
End
12.59
Komentar
Posting Komentar